Memaknai semangat kebangkitan Nasional Indonesia yang selalu
diperingati setiap tanggal 21 Mei, tentunya bukan hanya sekedar slogan saja
namun diperlukan tekad dan kemauan yang kuat untuk bangkit menuju Indonesia
yang berdaulat, Coba saja kita lihat ketika bangun tidur, kita selalu minum
Aqua ? padahal 74% saham Aqua adalah milik Danone dari Perancis atau kita minum
Teh Sariwangi juga 100% sahamnya milik Unilever dari Inggris atau kita minum
susu SGM yang ternyata 82% sahamnya dikuasai Numico dari Belanda.
Setelah itu kita mandi dengan menggunakan sabun lux dan sikat gigi
dengan Pepsodent semua produk itu adalah milik Unilever dari Inggris. Habis
mandi kita sarapan dengan nasi yang ternyata berasnya impor dari Thailand atau
Vietnam, sesudah makan, santai sebentar sambil merokok sampoerna mild yang
notabene 97% sahamnya milik Philip Morris dari Amerika Serikat.
Selanjutnya kita beraktifitas untuk berangkat kerja menuju kantor
dengan menggunakan motor atau mobil buatan jepang, china, india, eropa tinggal
pilih saja, sesampainya dikantor kita memakai komputer, telepon seluler dan
seterusnya, semua yang kita pergunakan itu adalah milik asing, lalu apa yang
bisa kita banggakan sebagai orang Indonesia, semua yang kita pergunakan
sehari-hari adalah milik Negara asing atau MADE IN ASING dan ternyata yang asli
buatan Indonesia hanya Koruptor saja ? Cuma koruptornya saja yang asli
Indonesia. Sedih kan bila kita melihat kondisi ini ? sedih melihat
ketidakberdaulatan Indonesia, sudah barang tentu para pendiri Republik iniakan
marah besar bila mereka melihat Ketidakberdaulatan Indonesia sekarang ini.
Sebagai generasi penerus anak bangsa tentu kita akan bertanda
tanya, mengapa kita sudah tidak punya kedaulatan lagi, ternyata penyebab dari
ketidakberdaulatan ini dimulai sejak awal rezim Orde Baru berkuasa, yaitu saat
disahkannya UU No.1/1967 tentang PMA. Dan sejak saat itu, satu per satu
perusahaan asing ditandatangani kontraknya oleh penguasa untuk mengeksplorasi
kekayaan alam nusantara.
Tercatat perusahaan asing pertama yang masuk dan beroperasi di
Indonesia adalah Freeport Sulphur, dimulai saat penandatangan kontrak karya
Freeport pada tanggal 7 April 1967, dimana Penandatangan kontrak ini hanya
beberapa minggu setelah Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden RI, Jendral
Soeharto langsung memberikan ijin kepada sebuah perusahaan pertambangan Amerika
Serikat, Freeport Sulphur (kemudian menjadi Freeport Mc Moran) untuk melakukan
exploitasi pertambangan tembaga di gunung Ertsberg, yang terletak di Kabupaten
Fakfak, Propinsi Irian Barat (sekarang sebagian besar areal konsesi Freeport
berada di wilayah Kabupaten Mimika, Papua).
Lewat perampokan raksasa yang terlembaga ini, ditambah dengan
seperangkat kebijakan di mana Rezim Orde Baru menjamin kepentingan mitra
usahanya terutama dari Amerika, maka tidaklah mengherankan bahwa gelombang
pemasukan dari Minyak, Tembaga, Emas, Intan, Uranium memberikan sedikit
sumbangan atau bahkan tidak sama sekali bagi pembangunan ekonomi yang rasional
atau membantu penduduk di lapisan bawah dan lihat sekarang ini, Indonesia masih
saja tetap miskin, utang yang semakin besar tapi kekayaan alam sudah hampir
habis di rampok oleh mereka yang senang berpesta pora di atas penderitaan
rakyat.
Padahal Sejarah telah membuktikan bahwa segala keindahan semasa
Orba tidaklah fundamental, namun bersipat artificial serta semu belaka.
Mampukah kita bangkit kembali sebagai bangsa yang berdaulat, namun kalau
melihat sipat masyarakat kita yang mudah menjadi pelupa serta ketiadaan
kemampuan dalam mengidentifikasi persoalan yang sebenarnya terjadi, maka sampai
kapan pun republik ini tetap tidak akan berubah, malah dikhawatirkan kedepannya
akan lebih parah apabila masyarakat masih terbuai dan terpesona dengan model
pencitraan semu yang dilakukan para pemimpin karbitan yang sudah tidak lagi
malu-malu lagi mengiklankan diri bagaikan pahlawan kesiangan.